- Dedolarisasi semakin marak terjadi akibat perang Rusia dan Ukraina.
- China menjadi negara yang paling getol melalukan dedolarisasi.
- Dolar AS sebagai “raja” mata uang tidak akan pernah tumbang (dalam jangka pendek atau menengah) karena Triffin Dilemma.
Dedolarisasi atau pengurangan penggunaan dolar Amerika Serikat (AS) semakin marak terjadi belakangan ini. Banyak negara ingin mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS guna menjaga stabilitas nilai tukar mata uangnya.
Perang Rusia dengan Ukraina membuat dedolariasi semakin terakselerasi. Amerika Serikat dan sekutunya membekukan cadangan devisa bank sentral Rusia yang ditempatkan di luar negeri.
Banyak yang melihat dolar https://daftar-dwslot88.com/ https://daftar-dwslot88.com/AS bisa menjadi senjata bagi Amerika Serikat guna menekan negara lain. Dedolarisasi pun semakin masif terjadi.
Namun, jika melihat ke belakangan dedolarisasi sebenarnya sudah terjadi sejak lama. Awal 2000an oleh tetangga terdekat AS mulai dari Peru, Bolivia, Paraguay, hingga Argentina melakukannya
Brasil menjadi negara di Amerika Latin yang paling getol mengurangi dolar AS. Bersama BRIC (Brasil, India, Rusia, China, dan Afrika Selatan), Brasil mulai mengindikasikan pembentukan mata uang baru. Uang ini akan diamankan dengan emas dan komoditas lain, termasuk elemen tanah jarang.
Brasil dan China pada akhir Maret 2023 juga membuat kesepakatan untuk ‘membuang’ dolar dalam transaksi perdagangan mereka.
Dari banyak negara tersebut, China tentu yang menjadi sorotan utama. Maklum saja, Sebagai negara dengan nilai perekonomian terbesar kedua di dunia, China memliki pengaruh besar di sektor perdagangan.
China merupakan eksportir terbesar di dunia, berdasarkan data dari International Trade Center pada 2022 nilainya mencapai US$ 3,6 triliun. Nilai tersebut jauh di atas Amerika Serikat sebesar US$ 2,1 triliun.
Maka tidak salah jika China terus berusaha mendorong yuan menjadi mata uang internasional.
Presiden Xi saat berkunjung ke Riyadh Desember lalu mengatakan China dan negara-negara Teluk Arab seharusnya menggunakan Shanghai Petroleum and Natural Gas Exchange sebagai platform menyelesaikan transaksi minyak dan gas.
“China akan terus mengimpor minyak mentah dalam jumlah besar dari negara-negara Arab, memperbanyak impor LNG, memperkuat kerjasama pengembangan hulu minyak dan gas, layanan teknik, penyimpanan, transportasi, dan penyulingan serta memanfaatkan sepenuhnya Shanghai Petroleum and National Gas Exchange sebagai platform settlement perdagangan minyak dan gas dengan menggunakan yuan,” kata XI pada Desember 2022 lalu, sebagaimana dilaporkan Reuters.
Upaya tersebut pun mulai menunjukkan hasil. China kini juga bertransaksi dengan menggunakan yuan dalam perdagangan liquefied natural gas (LNG) dengan Uni Emirat Arab.
Meski banyak negara melakukan dedolarisasi, tetapi status dolar AS sebagai raja mata uang sepertinya tidak akan lengser dalam jangka pendek atau menengah. Sebab, perekonomian dunia bisa jeblok jika itu terjadi.
Ekonom Robert Triffin yang memberikan testimoni di hadapan Kongres AS pada 1960 memaparkan masalah fundamental pada sistem moneter internasional yang terkenal dengan istilah Triffin Dilemma.
Menurut Triffin, pertumbuhan ekonomi global saat ini membutuhkan supply dolar AS. Untuk terus menambah supply, maka Amerika Serikat wajib mengalami defisit neraca pembayaran internasional.
Ketika mengalami defisit, artinya Amerika Serikat harus terus “mencetak” dolar AS untuk pembayaran, supply pun bertambah.
Sebaliknya, ketika Amerika Serikat mengalami surplus, maka negara-negara lain harus membayar, dengan kata lain dolar kembali pemiliknya. Supply dolar AS secara global pun akan menurun, kekurangan likuditas nantinya menurut Triffin akan memicu kemerosotan ekonomi global.