Nyata! RI Kena Imbas Sanksi Uni Eropa ke Rusia, Ini Buktinya

Suasana Laut Natuna Utara, Jumat (17/9/2021).

Rencana perusahaan asal Inggris, Premier Oil untuk pengembangan atau Plant of Development (POD) Pertama Lapangan Tuna di Wilayah Kerja (WK) Tuna, perairan Natuna kemungkinan bakal sulit. Hal tersebut menyusul adanya sanksi yang diberikan Uni Eropa dan Pemerintah Inggris terhadap Rusia selaku mitra Premier Oil.

Perusahaan induk dari Premier Oil yakni Harbour Energy mengungkapkan pemerintah Indonesia sejatinya telah memberikan persetujuan untuk POD Lapangan Tuna. Namun demikian, pengembangan yang dilakukan bersama mitra asal Rusia yakni Zarubezhneft terganjal sanksi dari Uni Eropa dan Pemerintah Inggris.

“Pemerintah menyetujui rencana pengembangan lapangan Tuna di Desember. Namun, kemajuan lebih lanjut dipengaruhi oleh sanksi UE dan Inggris yang membatasi kemampuan kami sebagai operator untuk menyediakan layanan tertentu kepada mitra Rusia kami di Lapangan Tuna,” ujar perusahaan dalam laporan tahunannya dikutip Senin (13/3/2023).

Oleh sebab itu, saat ini perusahaan tengah melakukan koordinasi dengan mitra terkait. Terutama untuk mencapai solusi yang memungkinkan agar proyek ini dapat segera jalan.

Untuk diketahui, pada tahun 2020 lalu, Premier Oil Tuna B.V. telah mendapatkan partner untuk mengelola Blok Tuna yakni dengan Zarubezhneft.

Zarubezhneft sendiri merupakan perusahaan migas milik pemerintah Rusia yang dilaporkan mengakuisisi 50% hak partisipasi Blok Tuna melalui anak usahanya, ZN Asia Ltd.

Sebelumnya, Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto menyampaikan persetujuan POD Pertama Lapangan Tuna menunjukkan bahwa daya saing investasi hulu migas masih menjanjikan. Sehingga mampu menarik investor dunia untuk datang ke Indonesia.

Menurut Dwi lokasi Lapangan Tuna sendiri memiliki risiko tinggi, namun dengan dukungan insentif dan fleksibilitas yang diberikan pemerintah dapat meningkatkan keekonomian lapangan tuna itu sendiri. Dengan begitu, POD Pertama Lapangan Tuna dapat direalisasikan.

Perkiraan biaya investasi untuk pengembangan Lapangan Tuna terdiri dari investasi (di luar sunk cost) diperkirakan sebesar US$ 1,050 miliar, investasi terkait biaya operasi sampai dengan economic limit sebesar US$ 2,020 milir dan biaya Abandonment and Site Restoration (ASR) sebesar US$ 147,59 juta.

Adapun, dengan masa produksi yang diperkirakan sampai 2035, maka Pemerintah akan mendapatkan gross revenue sebesar US$ 1,24 miliar atau setara dengan Rp 18,4 triliun. Adapun Kontraktor gross revenue sebesar US$ 773 juta atau setara dengan Rp 11,4 triliun dengan biaya cost recovery mencapai US$ 3,315 miliar.

“Investasi Lapangan Tuna sangat besar dari sejak proyek hingga operasional sampai economic limit dengan nilai investasi mencapai US$ 3,070 miliar dolar atau setara dengan Rp 45,4 triliun sehingga akan turut memperkuat dan menggerakkan perekonomian nasional,” kata Dwi Senin (2/1/2022).

Sementara dari sisi penerimaan negara, diperkirakan Pemerintah akan mendapat income hingga mencapai Rp 18,4 triliun atau jauh lebih besar dibandingkan potensi penerimaan kontraktor yang sebesar Rp 11,4 triliun.

“Hal ini menunjukkan pemberiaan insentif untuk meningkatkan keekonomian Lapangan Tuna tetap menempatkan kepentingan negara pada posisi yang tinggi. Bahwa negara harus mendapatkan manfaat terbesar sebagaimana amanah UUD 1945 Pasal 33”, kata Dwi.

Dwi menilai pengelolaan hulu migas di wilayah perbatasan, seperti di Blok Tuna, tentu tidak hanya bermakna hitung-hitungan ekonomi semata. Namun juga ada kepentingan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

“Persetujuan POD Pertama kemudian dilanjutkan dengan pelaksanaan proyek di Lapangan Tuna, maka akan ada aktivitas di wilayah perbatasan yang masuk salah satu hot spot geopolitik dunia. Bendera merah putih akan berkibar di lokasi proyek,” katanya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*