Indonesia berada di urutan 139 dari 194 negara. Urutan ini didasarkan pada jumlah dokter, sehingga mengindikasikan kalau jumlah dan distribusi dokter, baik dokter umum, dokter spesialis, dan dokter sub-spesialis masih kurang.
WHO menyebut tiap negara memiliki rasio dokter 1: 1000. Artinya, seorang dokter di Indonesia melayani 1.000 penduduk. Jika penduduk Indonesia 270 juta jiwa, maka harus ada 270 ribu dokter di seluruh tanah air. Sementara saat ini jumlah dokter masih jauh dari cukup, hanya 185 ribu. Itupun terpusat di kota-kota besar, khususnya di Jawa.
Permasalahan ini akan menjadi bom waktu ketika muncul peristiwa besar di sektor kesehatan, seperti wabah COVID-19. Pada masa kritis itu dokter kurang, rakyat banyak meninggal.
Kasus panceklik dokter sebetulnya menjadi permasalahan klasik di Indonesia. Sejak kemerdekaan, pemerintahan Sukarno sudah dibuat pusing oleh kurangnya jumlah dokter. Dokter-dokter Belanda yang sudah menguasai dunia kesehatan Indonesia perlahan angkat kaki seiring peralihan kekuasaan. Akibatnya Indonesia memasuki krisis dokter akut.
Menurut buku Sejarah Kesehatan Nasional Jilid 2 (1980), hanya ada 1.200 dokter dari 70 juta penduduk, artinya tiap dokter harus melayani 75 ribu orang. Dari jumlah tersebut, 2.400 dokter atau 20% berada di Jakarta. Ini kian parah ketika minat masyarakat menjadi dokter cukup kecil. Begitu juga mahasiswa kedokteran yang setelah lulus justru tak mau buka praktik.
Hans Pols dalam Merawat Bangsa (2019) menyebut kalau orang Indonesia saat itu lebih memilih jadi politikus, pejabat, pengusaha, dan tentara dibanding jadi dokter. Alasannya karena lebih menjanjikan.
Situasi ini kian genting ketika Indonesia juga dihadapkan oleh tingginya penyebaran penyakit menular. Tiap waktu banyak warga meninggal karena tidak dapat pertolongan medis. Untuk mengatasinya, Menteri Kesehatan Johannes Leimena berupaya mengurainya dengan membuka banyak sekolah kedokteran.
“Pemerintah Indonesia membuka sekolah kedokteran di Jawa, Surabaya, dan Yogyakarta pada 1952. Pembukaan itu juga dibarengi oleh perubahan kurikulum ke model Amerika yang banyak praktik, dibanding model Belanda yang menekankan teori,” kata Vivek Neelakantan dalam Memelihara Jiwa Raga Bangsa (2019)
Pembukaan sekolah baru kemudian menimbulkan polemik. Sebab, sekolah itu kemudian kosong-melompong karena tidak ada fasilitas dan pengajar mumpuni. Akibatnya, mimpi meningkatkan jumlah dokter secara cepat pun tidak terwujud. Sekalipun ada peningkatan, persebarannya tidak merata. Artinya, pemerintah gagal untuk mencapai tujuan awalnya, sehingga permasalahan ini pun menjadi “hadiah” untuk era berikutnya.
Pada 1968, ketika Soeharto menjadi presiden, sektor kesehatan bergerak ke arah positif berkat pembukaan sekolah kedokteran, di universitas negeri atau swasta.
“Pada 1974 ada 6.221 dokter dengan rasio 1:24.000. Lalu 1979, mencapai 10.500 dokter di seluruh Indonesia,” kata Abdul Syukur, dkk dalam Sejarah Pembangunan Kesehatan Indonesia (2009).
Jumlah dokter memang meningkat. Namun, masih jauh dari kata ideal. Masih ada jarak lebar perbandingan jumlah dokter dengan jumlah penduduk. Begitu juga masalah penyebaran yang tak kunjung selesai. Di daerah masih minim dokter. Akibatnya, penduduk di sana tidak bisa mendapat pengetahuan medis yang baik.
Untuk meratakan jumlah dokter, sejak tahun 1970 pemerintah Soeharto mewajibkan seluruh lulusan fakultas kedokteran mengabdi di daerah selama beberapa bulan. Jika ingin menetap, mereka juga dijanjikan gaji yang sangat besar.
Meski demikian, tetap saja para dokter enggan bertugas di daerah. Peneliti dan pegawai Kementerian Kesehatan, Januar Achmad, dalam Hollow Development (1999) mengungkap alasan sederhana, yakni hidup di daerah tidak enak.
Mereka yang merasakan hidup manis hidup di perkotaan dengan segala fasilitas mumpuni harus menjalani kehidupan berbeda ketika tinggal di daerah. Tidak ada listrik, air, dan fasilitas kesehatan penunjang. Dari segi penghasilan pun, jika dihitung-hitung, gaji per bulan masih kalah jauh dibanding teman sejawatnya yang praktik di kota.
Meski Januari memaparkan dalam konteks Orde Baru, alasan-alasan seperti ini yang nampaknya membuat para dokter enggan praktik di daerah sampai sekarang. Di era reformasi, dari zaman Habibie sampai Jokowi, pemerintah selalu gagal menangani hal ini. Sepertinya biang masalah utamanya adalah ketimpangan antara kota dan daerah. Jika ketimpangan ini dibereskan, tidak menutup kemungkinan tenaga kesehatan juga merata.