Perusahaan petrokimia asal Amerika Serikat (AS) yakni Air Products and Chemicals Inc. memutuskan untuk mengundurkan diri dari konsorsium proyek gasifikasi batu bara di Indonesia.
Air Products mundur dari proyek Dimethyl Ether (DME) yang digunakan sebagai substitusi Liquefied Petroleum Gas (LPG) yang berkonsorsium dengan PT Bukit Asam Tbk (PTBA) dan PT Pertamina (Persero). Selain itu, Air Products juga mundur dari proyek gasifikasi batu bara menjadi etanol bersama dengan perusahaan Group Bakrie yakni PT Kaltim Prima Coal (KPC) dan PT Arutmin Indonesia.
Lantas apa yang membuat Air Products mundur dari dua proyek tersebut di Indonesia?
Menjawab hal itu, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI), Hendra Sinadia mengungkapkan beberapa alasan kemungkinan mundurnya Air Products dari proyek hilirisasi batu bara di Indonesia.
Hendra mengatakan walaupun pemerintah sudah memberikan kemudahan bagi para investor untuk berinvestasi proyek hilirisasi batu bara di Indonesia, nampaknya masih ada beberapa faktor penghambat lain bagi para investor.
Salah satu alasannya adalah, Hendra menyebutkan mundurnya investor besar dari proyek gasifikasi batu bara karena belum adanya titik temu skema perjanjian antara perusahaan batu bara dengan investor.
“Kenapa sampai investor provider Air Products mundur harus ditelaah lebih lanjut. Ada benarnya ini disebabkan oleh mungkin skema perjanjian yang kerja sama oleh penambang batu bara yang belum mencapai titik temu,” ungkap Hendra kepada CNBC Indonesia dalam program ‘Mining Zone’, dikutip Senin (13/3/2023).
Dia mengatakan, alasan lain yang mungkin menjadi sebab sulitnya hilirisasi batu bara di Indonesia adalah faktor keekonomian. Hendra menyebutkan hilirisasi batu bara menjadi produk kimia merupakan hal baru bagi penambang batu bara di Indonesia.
“Kemudian faktor keekonomian yang sangat-sangat penting, dan ini produk yang dihasilkan adalah produk chemical. Jadi ini industri yang berbeda. Penambang batu bara tentu saja sangat paham dengan market batu bara harganya sudah established. Tapi DME ini dunia baru bagi penambang,” tambahnya.
Selain itu, Hendra menilai negara yang berhasil dalam menentukan skema harga gasifikasi batu bara baru negara Tiongkok. Dia mengatakan, negara penghasil batu bara terbesar di dunia yakni Australia dan India bahkan belum memulai proyek hilirisasi batu bara.
“Skema harga, struktur harga juga hal yang baru. Bahkan kita lihat di dunia praktis hanya China yang bisa dikatakan mapan untuk gasifikasi. Australia, negara-negara produsen batu bara besar lain apalagi India belum mulai sama sekali,” ujarnya.
Sehingga, dengan begitu, Hendra mengatakan bahwa dengan memulai proyek gasifikasi batu bara, Indonesia bisa menjadi negara pionir bagi negara lain yang belum memulai proyek gasifikasi batu bara.
Di luar China, Indonesia bisa jadi pionir. Ini proyek yang tentu saja sangat patut didukung dan perusahaan anggota BBI yang dipersyaratkan perpanjangan (menambang batu bara) sudah komitmen mengeluarkan dana yang tidak kecil untuk melakukan studi kelayakan untuk mencari keekonomian proyek-proyek ini,” pungkas Hendra.
Adapun, Hendra mengungkapkan harga komoditas batu bara yang masih tinggi juga menjadi tantangan bagi perusahaan untuk memulai proyek gasifikasi batu bara. Selain itu, keekonomian juga ternilai masih tinggi dalam pendanaan proyek hilirisasi batu bara.
“Ini menjadi sulit apalagi kondisi harga komoditas batu bara sedang tinggi-tingginya. Jangan dilupakan funding, pendanaan, proyek batu bara termasuk gasifikasi ini semakin sulit, sehingga keekonomian jadi tantangan. Ini evaluasi bersama kita,” tandasnya.
Seperti diketahui, pada perdagangan terakhir pekan lalu, Jumat (10/3/2023), harga batu bara kontrak April di pasar ICE Newcastle memang ditutup menguat 4,89% ke posisi US$ 193 per ton.
Namun, secara keseluruhan, harga batu bara ambruk 1,23% pada pekan lalu. Pelemahan ini memperpanjang kinerja negatif menjadi dua pekan terakhir. Pada dua pekan lalu, harga batu bara juga ambles 4,32%.
Di lain sisi, Ketua Indonesian Mining & Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo mengungkapkan, nilai keekonomian masih menjadi persoalan dalam menjalankan proyek hilirisasi batu bara di Indonesia.
“Ini masalah, bagaimana keekonomian, sehingga dari sisi PTBA ya yang selama ini menjadi pionir dan DME ini non coal di Eropa juga ada, cuma DME coal itu kalo kita lihat paling besar di China,” ujarnya dalam kesempatan yang sama, dikutip Senin (13/3/2023).
“Namun kembali lagi ini menjadi critical kalau dari PTBA kalau sampai nggak ekonomis bisa jadi ke depan jadi stranded asset dan PTBA sebagai publik company,” tandasnya.
Perlu diketahui, proyek DME di Tanjung Enim, Sumatera Selatan ini mulanya ditargetkan bisa menghasilkan 1,4 juta ton DME per tahun dan diperkirakan menyerap 6 juta ton batu bara per tahunnya.
Dengan produksi 1,4 juta ton DME per tahun, maka diperkirakan bisa menekan impor LPG sebesar 1 juta ton per tahunnya.
Proyek yang disaksikan langsung awal pembangunannya atau ground breaking oleh Presiden Jokowi pada 24 Januari 2022 ini bernilai investasi US$ 2,1 miliar dan bisa menghemat devisa pengadaan impor LPG hingga Rp 9,14 triliun per tahun.